-

FIQO

Islam di Indonesia - Kebangkitan Islam di Nusantara (Bagian 1)

ISLAM DI INDONESIA

Oleh : Prof. Dr. K. H. Haedar Nashir, M. Si. ( Ketua Umum PP Muhammadiyah )

 Kebangkitan Islam Di Nusantara ( bag 1 )


Baik dalam menghadapi penjajahan Belanda maupun karena dinamika internal di tubuh umat Islam sendiri sejak awal abad ke-19 telah terjadi proses kebangkitan Islam di kepulauan Nusantara. Kendati pemerintah kolonial Belanda berhasil mengontrol sebagian besar wilayah Nusantara, tetapi perlawanan dari kerajaan-kerajaan Islam dan rakyat Muslim terus berlangsung. Di Minangkabau muncul gerakan ke. bangkitan Islam periode pertama pada 1784-1803 di Kota Tua di daerah Agam, yang digerakkan Tuanku Nan Tua, yang melakukan gerakan keagamaan dan perdagangan untuk melakukan penerapan hukum Is lam di desa-desa dan mengorganisasi para saudagar Muslim. Període berikutnya yang paling menonjol ialah gerakan Padri tahun 1803-1819 yang dipelopori oleh Haji Miskin, Tuanku Nan Rentjeh, dan paling populer Tuanku Iman Bonjol, yang melakukan gerakan kebangkitan bercorak pemurnian ala Wahhabiyyah yang keras, selain dalam melakukan perlawanan yang meluas terhadap Belanda (Dobbin, 2008: 198). Pada fase mutakhir, gerakan kebangkitan Islam bercorak pembaruan di Minangkabau dilakukan Ahmad Khatib diikuti Hadji Rasul dan Ahmad Taher, yang sangat berpengaruh bukan hanya di Sumatra Barat kala itu, tetapi ke penjuru tanah air hingga ke Asia Tenggara, sebagai embrio dari pemikiran Muslim modernis Islam yang ingin mengembalikan Islam pada Al-Qur'an dan Sunnah (Federspiel, 2004: 43).


Sejak abad ke-19 ketika sekelompok orang Islam banyak berhubungan dengan Timur Tengah dan memperoleh peluang untuk naik haji semakin luas setelah dibuka Terusan Suez tahun 1869, perkembangan mutakhir ini ternyata menjadi daya dorong bagi umat Islam untuk bangkit dan menjadi amunisi baru dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Pada era inilah muncul gelombang baru ortodoksi Islam, yang melakukan gerakan pemurnian agama Islam. Ortodoksi Islam bahkan memiliki pengaruh dalam menggantikan Islam mistik dan sinkretik yang selama itu menguasai Indonesia, sekaligus menjadi kekuatan baru dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda (Suminto, 1986: 3). Di antara salah satu yang menonjol dalam gerakan kebangkitan Islam baik sejak era Padri maupun gelombang pembaruan sejak abad ke-19, peranan yang sangat menentukan dalam sejarah Islam tersebut dilakukan oleh para ulama muda yang juga disebut kaum muda. Bagi kaum muda, pembaruan Islam atau orotodoksi Islam waktu itu merupakan proses yang tidak boleh berhenti (Abdullah dkk., 1991:221).


Karena itu, gelombang baru umat Islam yang banyak menunals kan ibadah haji dan di antaranya bermukim di Makkah pada masa ini memperoleh perhatian sekaligus kecurigaan pemerintah kolonial Be landa, sehingga atas dasar advies (saran) Snouck Hurgronje diambil kebijakan Politik Islam Hindia Belanda yang membiarkan urusan ibadah dengan sikap netral dan penghormatan atau dorongan dalam hal-hal sosial, serta pengawasan terhadap eksrpresi politik (Suminto, 1986: 13).


Sejak awal abad ke-20 bersama dengan menyingsingnya fajar kebangkitan nasional untuk kemerdekaan, lahir sejumlah organisasi Islam dengan aliran faham dan orientasi gerakan yang beragam ya itu Jami'at Khair (1905), Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1913), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), dan lain-lain yang terpolarisasi ke dalam dua arus besar yakni Islam modernis dan tradisionalis. Muhammadiyah dan Persatuan Islam termasuk ke dalam gerakan Islam pembaru atau modernis, tetapi Muhammadiyah bersifat toleran dan Persatuan Islam tergolong keras, namun semua organisasi Islam tersebut bersifat gerakan (Noer, 2004: 320). Pada fase ini muncul antusiasme baru dalam kebangkitan Islam yang diprakarsai tokoh-tokoh yang bersentuhan dengan pemikiran pembaruan di Timur Tengah setelah naik haji dan bermukin di Kota suci Makkah. Pemikiran Pan-Islamisme Al-Afghani, pembaruan Muhammad Abduh, dan lain-lain memperoleh perhatian dan antusiasme yang tinggi. Gerakan kembali pada Al-Qur'an dan As-Sunnah menggema lebih keras, berkembang pemikiran baru tentang fikih, terutama yang terkait dengan ijtihad, sebagai gerakan yang diperankan oleh Muslim (Federspiel, 2004:41).


Sejak awal abad ke-20 itulah gerakan kebangkitan Islam dalam corak modernisme atau reformisme Islam lahir ke pentas baru Islam Indonesia. Modernisme Islam telah berhasil dalam sejumlah hal. Pertama,

menghadapkan Islam dalam peradaban baru dunia modern awal abad ke-20 dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabi. Kedua, mengangkat martabat umat Islam yang tertinggal melalui pembaruan alam pikiran, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan pemberdayaan di akar rumput. Ketiga, memodernisasikan gerakan Islam sehingga mampu berkiprah dalam perjuangan bangsa sejak era kebangkitan hingga mengisi kemerdekaan. Keempat, menghadapi persaingan dengan kekuatan-kekuatan di luar Islam untuk memberi alternatif dalam kehidupan masyarakat.


Gerakan modernisme Islam terus berkembang hingga fajar awal abad ke-21 tiba. Muncul fenomena baru sebagai kritik atau kelanjutan dari modernisme Islam, yaitu neomodernisme Islam yang lebih kaya dalam pemikiran. Terjadi dialektika gerakan Islam antara modernisme Islam dan neomodernisme Islam, bahkan muncul kebangkitan tradisionalisme menjadi neorevivalis tradisionalisme Islam. Dengan berbagai dinamika atau dialektika gerakan Islam itu bahkan terjadi akselerasi gerakan umat Islam dengan segala macam konflik dan konsensusnya. Bahkan setelah era reformasi tahun 1998 muncul kebangkitan kelompok Islamisme, yang menampilkan ideologi Islam yang lebih keras dan berorientasi pada perjuangan politik Islam di era baru.


Hingga tiba era reformasi tahun 1998 setelah mengalami dua fase zaman Orde Lama dan Orde Baru yang penuh dinamika dan masalah, umat Islam mencapai kemajuan tertentu tetapi sekaligus menghadapi banyak masalah dan tantangan yang tidak ringan. Kini umat Islam berada dalam situasi baru. Di satu pihak menghadapi iklim keterbukaan atau demokratisasi yang berarti terbuka untuk seluruh artikulasi kepentingan umat Islam baik di bidang pendidikan, sosial-budaya, ilmu pengetahuan, dan ekonomi maupun di bidang ideologi dan politik. Di pihak lain masalah yang dihadapi pun semakin kompleks, termasuk di tubuh umat Islam sendiri karena semakin banyaknya lalu lintas kepentingan dan gerakan yang saling tumpang-tindih dan cenderung terfragmentasi satu sama lain. ( bersambung )


Sumber : Kuliah Kemuhammadiyahan, jilid 1,  penerbit suara Muhammadiyah 


┈┈┈◎❅❀❦🌹❦❀❅◎┈┈┈


Jika dirasa bermanfaat, jangan lupa dibagikan kepada yang lainnya.


Nashrun Minallahi Wa fathun Qarieb

Tulis Saran & Komentar dengan Bijak

أحدث أقدم
FIQO